Di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, terdapat sebuah komunitas kepercayaan yang di sebut To Lotang. Komunitas To Lotang ini menganut agama Hindu meski tanpa Pura sebagai tempat beribadatan mereka.
Kabupaten Sidrap berjarak sekitar 200 kilometer dari Kota Makassar, Sulsel. Di Kota ini, atau lebih tepatnya di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, terdapat ratusan warga dari komunitas To Lotang.
Salah seorang warga To Lotang l, Samang (32) saat berbincang dengan detikcom, Selasa (26/2/2019), bercerita soal asal muasal komunitas To Lotang ini.
Dikatakannya, ketika ajaran Islam masuk di Kerajaan Wajo, maka Arung Matoa Wajo selaku pimpinan kerajaan mengeluarkan maklumat yang meminta seluruh warganya wajib memeluk Islam.
Tentunya, maklumat itu mendapat pertentangan dari warga dari Desa Wani. Mereka memilih tetap percaya apda kepercayaan leluhurnya yang telah diturunkan turun temurun. Mereka kala itu menyenbah Dewata Seuwae yang berada di atas langit.
“Mereka lalu mohon pamit ke Arung Matoa untuk pergi mencari daerah suaka. Sekelompok warga tersebut mendapatkan suaka di daerah Kerajaan Sidenreng,” ungkapnya.
Setibanya di Kerajaan Sidenreng, Adituang Sidenreng kala itu memberikan sebuah lahan kepada warga Wani ini di wilayah Amparita. Lambat laun, wilayah ini berkembang dan kemudian menyebar hingga wilayah selatan Saoraja.
“Jika Adituang perlu meminta bantuan warga Wani dia menyebut dalam bahasa Bugis ‘Obbirengnga Tolotang Saoraja’ atau dalam bahasan Indonesianya ‘panglilkan saya orang yang ada di selatan Istana,” sebutnya.
Dengan pemanggilan To Lotong itu, maka warga kerajaan pun mulai mengganti sebutan warga Wani dengan sebutan To Lotang. Dalam perjalananya, kata Samang menyebut sejak tahun 1966, mereka bukan lagi sebuah kepercayaan tetapi bagian dari Agama Hindu.
Menurutnya, berafiliasi dengan agama Hindu bukan proses yang mudah dan singkat. Butuh musyawarah panjang dengan seluruh tetua To Lotang memutuskan hal tersebut.
“Akhirnya ada surat keputusan yangg terbit di tahun 1966 yang menetapkan kami sebagai bagian dari agama Hindu,” ungkapnya.
Namun, Samang menyebut proses peribadatan yang dilakukan warga To Lotang sama dengan proses ibadah yang ada di Bali. Dia mengatakan berdasarkan hasil
Mahasabha PHDI ke VII, ditetapkan bahwa agama Hindu adalah agama universal.
“Menerima dan mengakui komunitas-komunitas Hindu yang tumbuh dan berkembang berdasarkan adat, tradisi dan budayanya,” ujarnya.
“Jadi yang membedakan To Lotang dengan Hindu yang lain adalah adat, tradisi dan budayanya. Kami masih konsisten menjaga dan menjalakan tradisi leluhur kami,” imbuhnya.
Oleh karenanya, dengan proses ibadah yang berbeda maka tidak Pura di wilayah Sidrap tempat mereka beribah.
“Tentu perlu proses yang lama, apalagi sampai saat ini hubungan dengan agama Hindu baik-baik saja,” kata dia.
Sementara itu, Guru Besar Filologi Unhas, Nuhayati Rahman saat dikonfirmasi terpisah mengatakan bahwa penampilan warga To Lotang tidak berbeda dengan penampilan warga Bugis pada umumnya. Yang membedakan, kata Nurhayati adalah kepercayaan warga To Lotang.
Kepercayaan mereka pun adalah menyembah dewa-dewa yang berada di atas langit dan laut. Kepercayaan ini dipegang jauh sebelum suku Bugis memeluk Islam.
“Mereka berbeda dengan Hindu. Perkawinan dewa ini melahirkan manusia yang ada dunia tengah. Fungsinya mereka menjaga kesimbangan antara di langit dan di bawah. Manusia di tengah,” terangnya.
Bahkan, kata Nurhayati kitab suci warga To Lotang ini adalah kitab Lagaligo dan nabi mereka adalah Batara Guru Sawerigading.
Sumber: https://news.detik.com/