Membumikan kembali Siri’ na Pacce, Filosofi Hidup Bugis – Makassar

Kata Siri’ na Pacce tentu bukan kata yang asing terdengar atau kita lihat dalam media – media dan gambar-gambar yang bertebaran di dunia maya khususnya di Makassar. Apalagi Siri’ na Pacce sudah menjadi jargon kemanapun PSM Makassar berlaga.

 

Bagi masyarakat Bugis – Makassar, Siri’ na Pacce bukan sekedar jargon, tapi lebih dari falsafah nilai-nilai kehidupan yang harus terus dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Namun pengaruh globalisasi, tak jarang membuat anak muda yang tidak siap kehilangan identitas daerahnya masing-masing, khususnya pada wilayah Bugis-Makassar. Alhasil tidak sedikit generasi muda sekarang sama sekali tidak mengetahui nilai-nilai budaya mereka, khususnya nilai hidup Siri’ na Pacce.

 

“Siri’ji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka”.

Artinya, hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini jika rasa malu itu sudah hilang maka lebih baik mati karena engkau tak bearati lagi sama sekali bahkan binatang lebih berharga dibanding dirimu.

 

Falsafah ini dipegang teguh oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Falsafah ini selalu diyakini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan terbentuk menjadi budaya Siri’ Na Pacce.  Siri’berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti : pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain (kpk.go.id).

 

Siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan. Pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul” .

Baca Juga :  Towani Tolotang, Agama Hindu Tanpa Pura di Sidrap

 

Kata siri’ dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah dan sebuah prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar. Ungkapan-ungkapan seperti : siri’ na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi kehormatan), palaloi siri’nu (tegakkan siri’mu), tau de’ siri’na (orang tak memiliki malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar (mamujupos.com).

 

Budaya siri’ na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh Bangsa ini. Diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan, karena pemuda adalah calon pemimpin Bangsa ini. Mereka harus memiliki Siri’ na Pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya Siri’ na Pacce anak pemuda akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan yang sedang melanda Bangsa ini.

 

Seorang pemimpin yang memiliki budaya Siri’ na Pacce dalam dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan membawa Bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin.

Demikian tentang filosofi hidup Siri’ na Pacce, semoga menginpirasi dan selalu menjadi pegangan hidup kita. Salam!

Bagikan